Nabi Nuh dan Ketangguhan
Ditulis oleh : Hikmatiyani Nastiti
Apa yang anda ingat tentang Kisah Nabi Nuh AS?
Hal penting apa yang anda sampaikan kepada anak-anakmu dari Kisah Nabi Nuh AS?
Jangan-jangan, hanya sekedar banjir besar, perahu dan Kan’an yang kita ingat. Lalu apa makna yang sudah diambil oleh kita untuk kehidupan hari ini? Mari kita kembali kuatkan akidah kita melalui kisah Nabi Nuh AS.
Sungguh, tersentak dengan nasihat pagi ini saat Ust Yasir Arafat menyampaikan kisah Nabi Nuh AS. Dimulai dengan tidak ada seorang pun yang diberikan amanah dakwah melebihi panjangnya usia dakwah nabi Nuh AS, yaitu 950 tahun. Hingga Allah menjadikan satu-satunya Nabi yang diabadikan di dalam satu surat Al Quran yaitu surat Nuh.
Bahkan, Allah menghibur Rasulullah SAW dan para sahabatnya dengan menurunkan surat Al Ahqaf ayat 35 ;
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati ….” .
Salah satu Rasul yang dimaksud adalah Nabi Nuh AS. Allah ingin menyampaikan kepada Rasullah bahwa ujian yang dihadapinya belumlah sebanding dengan orang-orang terdahulu seperti Nabi Nuh.
Berdakwahnya Nabi Nuh amatlah berat, di dalam surat Nuh ayat 5- 7 dikatakan ;
“Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam. tetapi seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, justru mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya aku setiap kali menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinganya dan menutupkan bajunya (ke wajahnya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri”.
Mungkin, saat ini kita merasa sulitnya memberikan nasehat kebaikan kepada orang-orang terdekat kita. Pasangan, anak, kerabat dekat hingga teman. Lalu kita menyatakan :
“Ah saya sudah Lelah menasehati mereka. Mereka tidak mendengar, sulit diajak pada kebaikan, “Anak saya tidak bisa lagi dinasehati, sudah susah payah diberitahu tapi tidak menurut” . “Saya sudah Lelah menasehati suami untuk sholat ke masjid, tapi dia tidak mau dengar” Dst.
Lalu, apakah kita tidak melihat kesabaran nabi Nuh AS dalam menyampaikan kebaikan?
Apa yang kemudian Nabi Nuh lakukan saat dakwah ratusan tahunnya belum didengarkan? Bersabar dan memohonkan ampun kaumnya.
Di dalam surat Ali Imran : 159 Allah berfirman :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Maka apakah kita pernah membuka pintu kamar anak-anak kita pada malam hari untuk memaafkan serta memohonkan ampun bagi mereka. Pernahkan kita maafkan dengan tulus pasangan kita serta memohonkan ampun untuknya? Sungguh, bisa jadi karena tidak dikirimkannya doa kitalah sehingga orang-orang yang kita kasihi belum dibukakan pintu hatinya oleh sang Pemilik Jiwa. Dan bisa jadi dikarenakan kita tak berlaku lemah lembut, maka orang-orang yang kita dakwahi tidak tersentuh hatinya. Malah mungkin tersakiti oleh lisan dikarenakan hati yang tak berkenan bersabar.
Lalu pesan apa yang dibawa Nabi Nuh AS hingga 10 abad terus berdakwah?
Satu pesan mulia yang menjadi misi beliau adalah mengajak manusia untuk taat dan menyembah Allah dan tidak menyembah selain kepadaNya. Menggambarkan betapa misi para nabi dan Rasul itu paling utama dan membutuhkan waktu yang lama adalah memurnikan tauhid.
Bagaimana dengan kita sebagai orang tua hari ini? Jangan-jangan isi pesan kita selama pengasuhan adalah semata urusan dunia. Memarahi karena nilai yang buruk, tak berprestasi, kamar berantakan dan seterusnya. Kalaupun tentang urusan akhirat, bisa jadi kita hanya merasa puas melihat jumlah hafalan anak yang bertambah namun mengabaikan obrolan tentang akidah. Kita cukup tenang dengan sholatnya anak ke masjid, namun melupakan waktu berdiskusi tentang hakikat hidup yang Allah berikan. Semua hanya diukur dengan apa yang bisa dilihat dari ibadah rutin, tanpa pernah mendalami kedalaman iman mereka melalui dialog, diskusi, tanya jawab dan sebagainya. Lalu bagaimana jika ibadah yang mereka jalani hanya muncul dari sebuah kebiasaan saja dan bukan lahir dan keimanan? Bukankah kebiasaan baru bisa saja kelak menutup jejak kebiasaan lama karena dianggap tidak lagi berguna?
Jika kita sudah berhati lembut, memaafkan, memohonkan ampun maka bermusyawarahlah.
Bahkan untuk urusan dunia pun , kita lebih senang memberikan instruksi. Tanpa menanamkan kebermaknaan, tanpa ruang untuk bertanya, tanpa waktu untuk menjelaskan kebermanfaatan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Lalu apa yang kelak akan anak-anak kita pegang? Sholat karena kelak Allah murka? Hanya itukah? Menghafal AL Quran karena tuntutan pesantren? Dan apa yang akan mereka jadikan pegangan setelah keluar dari pesantren?
Sungguh, menanamkan akidah yang lurus butuh proses yang panjang, berulang-ulang, bermusyawarah bagaimana bisa terwujud, menerima keluhan kemalasan dan mencari jalan keluar. Bukan sekedar memerintah dan menghukum. Karena sejatinya beribadah itu karena kita mencintaiNya dan kelak akan mendapatkan ridhoNya untuk memasuki syurga Firdaus.
Maka di setiap akhir usaha kita , bertawakallah. Ketangguhan hanya dapat tercapai saat kita menyandarkan hasilnya hanya kepada Allah SWT.
SHARE
- Telegram
- Pinteres