Waktu 3 hari, mengapa hanya 3 hari. Jika seseorang benar-benar tersakiti, apakah pantas hanya 3 hari saja didiamkan?
Sampai beberapa waktu lalu mendapatkan insight. Tentu setiap orang akan berbeda dalam memaknai. Saya mengaitkan dengan produktivitas atau kinerja. Saya pernah beberapa kali menerima cerita salah satu anggota kelompok anak-anak ada yang ngambek. Padahal ada agenda yang perlu diselesaikan cepat. Acara webinarlah, pekan olahraga atau agenda kerja kelompok kerja rutin di sekolah. Semua menjadi mandeg. Berhenti ti ti.
Menjadi semakin sulit jika marah berlama-lama. Kinerja berhenti, sesuatu yang harusnya dihasilkan sempurna menjadi asal-asalan atau gagal total. Situasi menjadi canggung, tidak menyenangkan, serba salah. Lalu, apakah kita lupa dengan anjuran sang suri teladan?
Beberapa kali murid pun mempertanyakan situasi tersebut. Sangat wajarlah terjadi pada anak-anak di sekolah. Disinilah kita tanamkan akhlak Rasulullah. Cukup 3 hari, setelah itu maafkan. Aih, lantas kita pun perlu membongkar, urusan apatah yang menyebabkan kemarahan itu meluap hingga membuat amarah sedemikian besar? Tak ada yang melempari kita kotoran seperti dulu Rasulullah kan? Atau meludahi wajah kita?
Coba cek, pasti semuanya urusan dunia. Tersinggung dengan kata, perbuatan yang konon menginjak harga diri. Maka jika ditarik lagi lebih jauh, marah berlama-lama bisa jadi perlu dicek lagi pada urusan akidah. Bukankah kita diperintahkan mencintai karena Allah dan membenci pun karenaNya?
Jika kami di sekolah merasa perlu menanamkan akhlak tersebut, maka tengoklah apakah diri kita sebagai pendidik sudah memilik akhlak tersebut? Terutama sayalah yang menulis. Itulah mengapa materi Self Development di SMP dan SMA HS Bening dimulai dengan Self Management. Kita tidak mungkin menjadi manusia yang produktif dan bermanfaat bagi orang lain jika belum mampu mengelola emosi.
Mau tahu tentang apa yang diajarkan di HS Bening?